PENGARUH BURUK PEMIKIRAN MURJI’AH


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Perpecahan kaum Muslimin menjadi kelompok-kelompok yang mengusung beragam pemikiran, sungguh merupakan kenyataan yang tidak bisa dimungkiri. Perpecahan ini, tidak lain, karena kaum Muslimin jauh dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh dari pemahaman para sahabatnya dalam beragama. Mengenai perpecahan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mensinyalir dalam sebuah hadits:

“Sesungguhnya, barangsiapa di antara kalian yang hidup, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena ia adalah kesesatan. Barang Usiapa di antara kalian yang mendapatinya, maka wajib berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa-ur rasyidin al-mahdiyin; gigitlah ia dengan gigi gerahammu” [HR At-Tirmidzi]

Perjalanan sejarah telah membuktikan kebenaran wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Awal perselisihan atau perpecahan ini muncul pada akhir kekhilafahan Khulafa-ur-Rasyidin. Di dalam Majmu’ al-Fatâwa (10/354), Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan, bahwa kebanyakan perbuatan bid’ah yang berhubungan dengan i’tikad dan ibadah, hanya terjadi pada akhir masa kekhilafahan Khulafa-ur-Rasyidin.[1]

Selanjutnya, beliau rahimahullah juga menjelasan:
“Ketika berlalu masa Khulafa-ur-Rasyidin dan kekuasaan berada di tangan raja, maka munculkan kelemahan pada diri para penguasa. Sehingga hal ini pun tampak pada para ulamanya. Kemudian, pada akhir kekhilafahan ‘Ali muncul dua perbuatan bid’ah, yaitu Khawarij dan Rafidhah. Ketika itu, perbuatan bid’ah tersebut berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan khilafah, serta amalan dan hukum-hukum syari’at berkaitan dengannya.

Setelah Yazid meninggal dunia, umat Islam terpecah-belah, (yaitu): Ibnu az-Zubair di Hijaz, Bani al-Hakam di Syam, dan al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid dan lainnya di Iraq. Ini terjadi pada akhir masa sahabat, dan sebagian para sahabat masih tersisa, di antaranya: ‘Adullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin ‘Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri dan sebagainya.

Ketika muncul bid’ah al-Qadariyah dan al-Murji’ah, maka sahabat yang masih hidup -seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Jabir, Watsilah bin al-Asyqa’ dan selainnya- (mereka) membantah bid’ah ini, sebagaimana mereka dan selainnya dahulu telah membantah bid’ah Khawarij dan Rafidhah”.[2]

Kemunculan kelompok Murji’ah ini di awal masa Tabi’in, tepatnya terjadi pasca pemberontakan atau fitnah Ibnul-Asy’ats. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Qatadah bin Da’amah as-Sadusi, ia berkata: “Irja’ (pemikiran Murji’ah), muncul setelah kekalahan Ibnul-Asy’ats”.[3]

Demikian juga Imam al-Bukhari rahimahullah telah membawakan bukti tentang keberadaan Murji’ah ini pada masa Tabi’in dengan membawakan satu riwayat dari Zubaid rahimahullah, beliau berkata:

“Aku bertanya kepada Abu Wa-il tentang Murji’ah, lalu beliau menjawab: “‘Abdullah telah mengabarkan kepadaku, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Mencela muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kekufuran’.”[4]

Tentang hadits ini, Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut. “Ucapan ( ÓÃáÊ ÃÈÇ æÇÆá Úä ÇáãÑÌÆÉ ) bermakna tentang pemikiran Murji`ah, dalam riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi rahimahullah dari Syu’bah rahimahullah dari Zubaid rahimahullah, beliau berkata: ‘Ketika muncul Murji`ah, aku mendatangi Abu Wa-il rahimahullah, kemudian aku sampaikan perihal tersebut. Sehingga jelaslah, bahwa pertanyaannya tersebut berkaitan dengan keyakinan mereka, dan itu dilakukan saat kemunculan mereka. Abu Wa-il t wafat tahun 99 H , dan ada yang berpendapat tahun 82 H. Ini menunjukkan, bahwa bid’ah Murji`ah ini sudah (berlangsung) sangat lama’.”[5]

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, maka dapat disimpulkan, bakwa kemunculan bid’ah Murji`ah ini telah ada pada masa-masa terbaik generasi umat ini.

PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG KEBIDAHAN DAN KESESATAN PEMIKIRAN IRJA’
Para ulama sepanjang masa telah menetapkan, bahwasanya Murji`ah merupakan kelompok bid’ah yang sesat. Mereka pun melakukan pengingkaran dan membantah kelompok ini. Di antara para ulama tersebut ialah sebagai berikut.

[1].’Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muthalib (wafat 68 H). Beliau Radhiyallahu ‘anhu mengingatkan,”Berhati-hatilah dengan (pemikiran) Irja’, karena ia merupakan cabang dari pemikiran Nashrani”.[6]

[2].Ibrahim bin Yazid bin Qa-is an-Nakhâ-i rahimahullah (wafat 96 H) berkata,”Menurutku, sesungguhnya fitnah mereka (Murji`ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah al-Azâriqah (Khawarij).”[7]

[3]..Muhammad bin Muslim az-Zuhri rahimahullah (wafat 125H) berkata,”Tidak ada satu perbuatan bid’ah dalam Islam yang lebih berbahaya bagi pemeluknya (kaum Muslimin) dari bid’ah ini, yaitu Al-Irja’.”[8]

[4].Yahya bin Sa’id al-Anshari (wafat 144 H) dan Qatâdah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh al-Auzâ-i rahimahullah, bahwa mereka berdua mengatakan: “Menurut pendapat mereka, tidak ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari Al-Irja’.” [9]

[5].Manshur bin al-Mu’tamir as-Sulami t (wafat 132H); beliau rahimahullah berkata: “Aku tidak berpendapat seperti pendapat Murji`ah yang sesat dan bid’ah.” [10]

[6]. Malik bin Anas bin Malik rahimahullah (wafat 179 H). Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan tentang sikap dan pemikiran beliau terhadap Murji’ah, yang dapat diringkas dalam tiga hal berikut.

a).Tidak melakukan perdebatan maupun pernikahan dengan mereka, dan ini termasuk hajr yang disyari’atkan.
b).Membantah dan menjelaskan kebatilan madzhab Murji`ah.
c).Tidak mengkafirkan mereka dengan sebab pemikiran dan perbuatan bid’ahnya tersebut.[11]

[7].Ahmad bin Hambal (wafat 241H). Dalam suatu dialog, beliau rahimahullah pernah ditanya: “Siapakah orang Murji`ah itu?” Beliau menjawab,”Orang Murji`ah, yaitu yang mengatakan bahwa iman itu hanya pernyataan belaka.” Beliau juga ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa iman itu hanyalah perkataan. Lalu Ahmad bin Hambal menjawab: “(Demikian) ini perkataan ahlul-Irja’. Perkataan bid’ah tidak pernah disampaikan para salaf dan orang-orang panutan kita”. [12]

[8]. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Bathah al-Akburi (wafat 387 H). Pengingkarannya terhadap Murji’ah dapat dilihat dari pernyataan beliau. Yaitu setelah menyampaikan perkataan banyak ulama yang melakukan celaan terhadap Murji`ah, beliau berkata: “Berhati-hatilah kalian –rahimakumullah- dari bermajlis dengan kaum yang keluar dari Islam, karena mereka telah menentang Al-Qur`ân, menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan keluar dari Ijma’ ulama Muslimin. Mereka mengatakan, bahwa iman adalah perkataan tanpa amalan.”[13]

Di tempat lain, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Bathah al-Akbari juga mengingatkan: “Berhati-hatilah kalian -rahimakumullah- (terhadap) orang yang berkata ‘Saya mukmin di sisi Allah’, ‘saya mukmin yang sempurna imannya’ dan ‘iman saya seperti imannya Jibril dan Mîkâ-îl’. Mereka ini, semuanya adalah Murji`ah yang sesat, menyimpang dan berpaling dari agama.” [14]

[9]. Syaikh al-Albani (wafat 1421 H) memasukkan Murji`ah ke dalam kelompok ahlul-hawa dan ahlul-bid’ah. [15]

[10]. .Lajnah ad-Dâ-imah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta`, di dalam fatwa no. 21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421H menyebutkan tentang fenomena pemikiran Murji`ah pada zaman ini. Dalam fatwa tersebut dikatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah) adalah kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Qur`ân, Sunnah dan ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sejak dahulu sampai sekarang.”[16]

Oleh karena itu para ulama terdahulu hingga pada zaman sekarang memberikan perhatian serius dalam membantah Murji`ah dan penganutnya. Masalah ini dijadikan sebagai topik pembahasan secara khusus dalam kitab-kitab ‘aqidah. Bahkan, para ulama menuangkan ke dalam karya tulis yang secara khusus berisi bantahan terhadap mereka. Misalnya, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.

BAHAYA DAN PENGARUH BURUK MURJI`AH
Melihat pengingkaran dan peringatan keras para ulama tersebut di atas, maka kita harus berhati-hati terhadap bahaya yang muncul dari bid’ah Murji`ah. Kemudian, kita perlu menjelaskan kepada umat mengenai bahaya pemikiran Murji’ah tersebut, terlebih pada masa sekarang ini, ketika umat Islam jauh dan kurang mengetahui ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di antara bahaya dan dampak buruk pemikiran Murji’ah ini dapat disebutkan sebagai berikut.

[1]. Sebagai kelompok yang mengusung pemikiran bid’ah, maka jika Murji`ah masuk ke dalam ‘aqidah kaum Muslimin, ia dapat memporak-porandakan kesatuan umat. Sebab, suatu perbuatan bid’ah jika muncul dan berkembang, ia akan memicu permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslimin. Karena pelaku bid’ah pasti akan membela perbuatan bid’ahnya, sedangkan Sunnah Rasulullah n pasti ada pendukung yang menegakkannya. Dengan perseteruan ini, maka umat akan terpecah.[17]

[2]. Membuat pemilik ‘aqidah Murji’ah ini masuk dalam kategori 72 golongan yang diancam masuk neraka, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya orang sebelum kalian dari ahli kitab telah berpecah-belah dalam 72 golongan, dan sungguh umat ini akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; 72 golongan di dalam neraka, dan satu di syurga; yaitu al-Jama’ah. [HR Abu Dawud]

[3]. Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah.[18] Demikian sebagian dampak buruk bid’ah secara umum, dan Murji`ah termasuk di dalamnya.

[4]. Mereka telah berdusta atas nama Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela oleh seluruh ulama. Imam al-Ajuri (wafat 360H) berkata,”Barangsiapa yang memiliki pemikiran seperti ini (Irja`), maka ia telah berdusta atas nama Allah dan membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama, karena yang memiliki pemikiran ini menganggap, seseorang yang telah mengucapkan lâ ilaha illallâh, maka dosa besar dan perbuatan keji yang ia lakukan, sama sekali tidak merusaknya. Menurutnya pula, keberadaan antara orang yang baik dan takwa dengan orang yang fajir adalah sama. Pendapat seperti ini jelas merupakan kemungkaran. Padahal Allah berfirman.

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih? Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” [Al-Jatsi-ât : 21]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?” [Shâf : 28] [19]

[5]. Kelompok Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.

[6]. Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi minazh-zhalal.

[7]. Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar. Bukti atau dalilnya mana? Perlu ada penjelasan. (dari Nur)

[8]. Kaum Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.

Adanya fenomena pemikiran Murji’ah pada masa sekarang ini, maka Lajnah ad-Dâ-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal-Ifta` telah menanggapinya, sebagaimana tercantum dalam fatwa mereka no. 21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421H. Fatwa tersebut menyebutkan.

“Tidak diragukan lagi, pemikiran ini (Murji`ah) merupakan kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi Al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sejak dahulu hingga sekarang. Pemikiran Murji`ah ini membuka pintu bagi orang-orang yang jelek dan rusak untuk lepas dari dinul-Islam dan tidak terikat dengan perintah maupun larangan syari’at, terlepas dari rasa takut maupun khawatir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga menghilangkan sisi jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar, menyamakan antara orang yang shalih dengan yang thalih (tidak shalih), yang taat dengan yang maksiat, dan yang istiqamah di atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang fasik yang lepas dari perintah dan larangan syari’at, selama amalan-amalan mereka tersebut tidak mempengaruhi iman sebagaimana menurut mereka . . .

(Syaikhul-Islam) rahimahullah berkata,”Para salaf terdahulu sangat keras pengingkarannya terhadap Murji`ah, karena mereka mengeluarkan amalan dari iman. Dan tidak diragukan lagi, bahwa pendapat Murji`ah yang menyamakan keimanan (semua) manusia, (maka pendapat ini) termasuk kesalahan yang sangat besar. Yang benar, manusia tidak sama dalam masalah tashdiq, cinta, takut dan ilmu, bahkan (ditinjau) dari banyak sisi memiliki tingkatan yang berbeda-beda”.

Inilah konsekwensi yang timbul dari pernyataan mereka yang mengatakan bahwa amalan tidak termasuk iman. Dari pendapat itu, kemudian muncul pernyataan mereka, bahwa iman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan iman Iblis adalah satu (sama).[20]

Pemikiran Murji`ah yang demikian ini, dikarenakan mereka jauh dan berpaling dari penjelasan Al-Qur`ân, Sunnah dan pernyataan para sahabat, Tabi’in dan ulama besar umat ini. Mereka menyandarkan pemikiran tersebut, yakni yang mereka fahami dari bahasa Arab semata.[21]

Demikian bahaya dan dampak buruk pemikiran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita.
Wabillahit-Taufiq.

Maraji:
[1]. Al-Bid’ah Asbâbuha wa Madharuha, Syaikh Mahmud Syaltût, Tahqiq: Syaikh Ali ­Hasan, Dâr Ibnul-Jauzi, Cetakan Kedua, Tahun 141H.
[2]. Al Ibânah ‘an al-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujânabat al-Furqah al-Madzmûmah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, Tahqiq: Ridha bin Na’sân Mu’thi, Dâr ar-Râyah, Cetakan Kedua, Tahun 1415H.
[3]. Al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwâfi, Maktabah as-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
[4]. Fathul-Bari, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
[5]. Firaq Mu’asharah Tantasibu ilal-Islam, Dr. Ghalib bin Ali ‘Awâji, Dar Lienah, Cetakan Ketiga, Tahun 1418H.
[6]. Majmu’ al-Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tanpa cetakan dan tahun.
[7]. Manhaj al-Imam Mâlik fi Itsbât al-Aqîdah, Sâ’ud bin Abdul-’Aziz ad-Da’jân, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
[8]. Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo]
__________
Foote Note
[1]. Majmu al-Fatawa (10/354)
[2]. Majmu al-Fatawa (10/356-357)
[3]. Al-Ibanah an asy-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujanabat al-Furqah al-Madzmumah (2/889)
[4]. HR Bukhari, kitab al-Iman, Bab : Khauf al-Mu’min min An Yahbitha Amaluhu wa Huwa la Yasy’urun, no. 48
[5]. Fathul-Bari (1/112)
[6]. Dibawakan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad, dinukil dari al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqad Ahlis sunnah wal Jama’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwafi, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415H (hlm. 211)
[7]. Al-Ibanah (2/885)
[8]. Ibid
[9]. Ibid (2/886)
[10]. Ibid
[11]. Manhaj al-Imam Malik fi Itsbat Al-Aqidah, hlm.507
[12]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu ilal-Islam (2/975-976)
[13]. l-Ibanah (2/893)
[14]. Ibid (2/899)
[15]. Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (6/1274)
[16]. Fatwa ini juga terdapat dalam lampiran kitab At-tibyan Li’alaqat al-Amal bi Musamma al-Iman, Ali bin Ahmad bin Suyuf, Maktabah al-Ulum wa-Hikam, cetakan Pertama, Tahun 1425H, hlm. 282-287.
[17]. Al-Bid’ah Asbabuha wa Madharruha, hlm. 58
[18]. Ibid
[19]. Asy-Syari’ah, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajuri, Jum’iyah Ihya-uts Turats al-Islami, Cetakan Pertama Tahun 1421H, hlm 151-152
[20]. Al-Muntaqa min Syarhu Ushul I’tiqad, hlm.215
[21]. Fatawa Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, no. 21436, tertanggal 8 Rabiuts-Tsani 1421H

© copyleft almanhaj.or.id

BANTAHAN TERHADAP PEMIKIRAN MURJI’AH


BANTAHAN TERHADAP PEMIKIRAN MURJI’AH

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Sesungguhnya kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, itu semua tergantung pada keimanannya yang benar. Dengan iman yang benar, seorang hamba akan hidup bahagia, dan ia selamat dari berbagai keburukan dan kesusahan di dunia dan di akhirat. Dengan iman, seorang hamba meraih pahala dan masuk surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Di dalamnya terdapat berbagai kesenangan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas pada hati manusia. Demikian juga, dengan iman seorang hamba akan selamat dari neraka, dengan berbagai siksanya yang tiada tara. Maka menjadi keharusan, jika pengetahuan tentang iman yang benar merupakan ilmu yang sangat penting dan pantas untuk diperhatikan.

MAKNA IMAN MENURUT AHLUS-SUNNAH
Secara bahasa, iman ada yang mengartikan dengan tashdîq (membenarkan), tuma`nînah (ketentraman), dan iqrar (pengakuan). Dan makna poin ketiga inilah yang paling tepat.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwasanya iman adalah iqrar (pengakuan), tidak semata-mata tashdîq (membenarkan). Dan iqrar (pengakuan) memuat perkataan hati, yakni tashdîq (membenarkan), dan perbuatan hati, yakni inqiyad (ketundukan hati)”.[1]
Dengan demikian, iman adalah iqrar (pengakuan) hati yang mencakup dua hal. Pertama, keyakinan hati, yaitu membenarkan terhadap berita. Kedua, perkataan hati, yaitu ketundukan terhadap perintah. Sehingga maknanya, yaitu keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala.

Adapun menurut syara’ (agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan ‘amal (perbuatan). Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Di antara prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah, bahwasanya ad-dîn (agama) dan al-iman, adalah perkataan dan perbuatan; perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan”.[2]

Dari perkataan Syaikhul-Islam di atas, nampak bahwa iman menurut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah mencakup lima perkara, yaitu perkataan hati, perkataan lisan, perbuatan hati, perbuatan lisan, dan perbuatan anggota badan. Banyak dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas ke dalam istilah iman.

IMAN MENURUT PENDAPAT MURJI`AH
Murji’ah adalah sebuah firqah yang memiliki pemahaman irja`. Maksud irja` ini memiliki dua makna.

Pertama. Mengakhirkan. Yaitu mereka mengakhirkan amal dari iman. Dalam arti, bahwa menurut mereka, amal tidak termasuk bagian dari iman. Pendapat ini merupakan kesesatan karena menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah.

Kedua. Memberikan raja’ (harapan). Mereka mengatakan, dengan adanya iman maka maksiat tidak membahayakan. Sebagaimana juga ketaatan itu tidak bermanfaat dengan adanya kekufuran. Anggapan ini juga merupakan kesesatan, karena mereka memandang remeh terhadap nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitab dan as-Sunnah.

Para salafush-shalih telah menyatakan kesesatan firqah Murji`ah ini. Az-Zuhri rahimahullah berkata; ”Tidaklah muncul bid’ah di dalam Islam yang lebih berbahaya terhadap pemeluk (agama Islam) dari irja`”.[3]

Ada beberapa firqah Murji`ah, namun secara umum terbagi dalam tiga golongan.

Pertama. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Sebagaimana Asy’ariyah menyatakan iman adalah keyakinan dan amalan hati. Begitu pula Jahmiyah menyatakan iman hanyalah keyakinan hati saja.

Kedua. Golongan yang mengatakan, iman hanyalah perkataan lisan saja. Mereka ini dikenal sebagai golongan Karamiyyah.

Ketiga. Golongan yang mengatakan, iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka ini Murji`ah dari kalangan fuqahâ (para ahli fiqih).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan dalam Majmû’ Fatâwa: Murji`ah itu ada tiga golongan.

Pendapat Pertama, orang-orang yang mengatakan bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja. Kemudian di antara mereka ini, ada yang memasukkan amal-amal hati di dalam iman. Mereka ini merupakan mayoritas golongan Murji`ah. Sebagaimana Abul-Hasan al-Asy’ari telah menyebutkan perkataan-perkataan mereka di dalam kitabnya. Banyak golongan yang beliau paparkan. Tetapi kami akan menyebutkan pokok-pokok pendapat mereka. Di antara mereka ada yang tidak memasukkan amal hati ke dalam iman, seperti Jahm dan pengikutnya, as-Shalihi. Inilah yang dia bela dan diikuti oleh mayoritas pengikutnya.

Pendapat Kedua, orang yang menyatakan bahwa iman adalah perkataan lisan saja. Pendapat ini tidak dikenal oleh seorang pun sebelum kemunculan firqah al-Karrâmiyyah.

Pendapat Ketiga, bahwasanya iman adalah keyakinan hati dan perkataan lisan. Inilah yang terkenal dari ahli fiqih dan ahli ibadah dari golongan Murji`ah.[4]

Tiga golongan ini sepakat menyatakan bahwa amal anggota badan tidak termasuk bagian iman. Pendapat ini tentu merupakan penyimpangan dan kesesatan, walaupun kadarnya berbeda-beda. Karena ijma’ (kesepakatan) Salaf menetapkan bahwa amal anggota badan termasuk iman, bahkan hal ini ditunjukkan oleh Al-Kitab dan as-Sunnah.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MURJI`AH
Bantahan-bantahan berikut dikupas secara ringkas, dan diarahkan terhadap pengertian iman menurut Murji’ah sebagaimana telah diungkapkan di atas.

[1].Golongan yang mengatakan iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja, berupa keyakinan dan amalan hati, seperti pendapat Asy’ariyah.

Bantahan.
Menurut pendapat mereka ini, bahwa orang yang meyakini berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala, baik berupa Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan hatinya tunduk, maka dia telah beriman, walaupun tidak mengikrarkan syahâdatain dan walaupun dia sama sekali tidak melakukan amalan lahiriyah. Maka pendapat ini bertentangan dengan ijma’ yang mewajibkan mengikrarkan syahadatain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ”Jika seseorang tidak mengucapkan dua syahadat, padahal dia mampu, maka dia kafir dengan kesepakatan kaum Muslimin”.[5]

Demikian juga bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hubungan amal hati dengan amalan anggota badan.

“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik maka seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati” [6]

Tentang hadits ini, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Jika hati itu baik dengan apa yang ada di dalamnya, yaitu berupa keimanan, secara ilmu dan amal yang berkaitan dengan hati, pasti mengharuskan kebaikan tubuh dengan perkataan yang nampak dan beramal dengan keimanan yang sempurna”.[7]

Beliau juga menyatakan: ”Adalah suatu kemustahilan, seseorang beriman dengan keimanan yang kokoh di dalam hatinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan shalat, zakat, puasa, dan haji atasnya, dan (kemudian) selama hidupnya, dia tidak pernah bersujud kepada Allah sama sekali, tidak berpuasa Ramadhan, tidak membayar zakat, dan tidak berhaji ke Baitullah; ini mustahil; ini tidaklah muncul kecuali bersamaan dengan kemunafikan dan kezindiqan di dalam hati, tidak dengan iman yang benar”.[8]

[2]. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah keyakinan hati atau ma’rifat saja, seperti yang dinyatakan oleh Jahm bin Shafwân.

Bantahan
Pernyataan demikian merupakan pendapat yang sangat rusak. Karena jika begitu, berarti Fir’aun dan kaumnya termasuk orang-orang yang beriman, karena hati mereka membenarkan Nabi Musa dan Nabi Harun, namun ia tidak beriman kepada keduanya. Allah Yang Maha Mengetahui isi hati manusia telah memberitakan isi hati Fir’aun dan kaumnya dengan firman-Nya.

“Dan mereka (Fir’aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan” [an-Naml :14]

Padahal sudah pasti jika Fir’aun dan kaumnya termasuk orang-orang kafir yang akan masuk neraka. Allah berfirman

“Ia (Fir’aun) berjalan di muka kaumnya di hari Kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi” [Huud : 98]

Demikian juga, konsekuensi dari anggapan mereka itu, berarti Iblis termasuk orang-orang yang beriman, karena dia mengetahui Rabbnya, bahkan berdoa kepada-Nya. Allah berfirman.

“Iblis berkata: “Ya Rabbku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan” [al-Hijr : 36]

Menanggapi pemikiran Jahm bin Shafwan, Imam Ibnu Abil-’Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata: ”Kekafiran menurut Jahm, yaitu bodoh (tidak mengenal) terhadap ar-Rabb Ta’ala, padahal tidak ada orang yang lebih bodoh dari Jahm terhadap Rabbnya. Karena dia menjadikan ar-Rabb sebagai wujud semata, dan meniadakan seluruh sifat-sifat yang ada pada-Nya. Tidak ada kebodohan yang lebih besar dari anggapan yang seperti ini, sehingga dia menjadi kafir dengan pengakuannya sendiri”.[9]

[3]. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah perkataan lisan saja. Ini merupakan pendapat Murji`ah dari firqah Karrâmiyyah.

Bantahan:
Jika iman hanya perkataan lisan saja, maka berarti orang-orang munafik termasuk sebagai orang yang beriman. Pendapat ini sangat jelas kerusakannya. Allah berfirman:

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka adzab yang kekal” [at-Taubah : 68]

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: ”Ahlus-Sunnah telah sepakat berkaitan dengan hilangnya keimanan; bahwasanya tashdîq (meyakini berita) tidak bermanfaat- jika tidak disertai dengan amalan hati, kecintaan hati dan ketundukannya”.[10]

[4]. Golongan yang mengatakan, iman ialah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka adalah Murji’ah dari kalangan fuqaha (para ahli fiqih).

Bantahan:
Pendapat seperti ini menyelisihi ijma’ Salafush-Shalih yang mengatakan amal termasuk iman. Amalan (perbuatan) anggota badan adalah perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat, ruku’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang menggaggu dari jalan, dan lain-lain.

Di antara dalil yang menunjukkan amal anggota badan termasuk dari iman, yaitu firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” [al-Hajj : 77]

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ruku’, sujud, dan beribadah kepada Allah. Perintah ini menunjukkan bahwa melaksanakannya merupakan iman.

Lebih jelas lagi dapat ditelaah dari firman Allah Ta’ala:

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” [al-Baqarah :143]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang firman Allah ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”, yaitu shalat kamu ke Baitul-Maqdis sebelum itu. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya di sisi-Nya. Di dalam kitab Shahîh (Shahîh Bukhari, no 4486 – Pen) disebutkan dari al-Barâ`, dia berkata; ” Sebagian orang yang dahulu shalat ke arah Baitul-Maqdis telah meninggal, maka orang-orang berkata: ‘Bagaimana keadaan mereka dalam hal itu?’ Maka Allah menurunkan ‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu’.[11]

Ayat di atas secara jelas menunjukkan, bahwa amal anggota badan termasuk iman, karena Allah menyebut shalat dengan iman.

KESESATAN MURJI`AH LAINNYA
Pada uraian di atas telah disampaikan pendapat dari berbagai firqah Murji’ah tentang pengertian iman. Pendapat sesat mereka berpangkal dari pemahaman-pemahaman menyimpang sebagai berikut.

[1]. Menurut kelompok Murji`ah, iman merupakan satu bagian dan tidak terbagi-bagi.

Bantahan:
Anggapan mereka ini bertentangan dengan ‘aqîdah Ahlus-Sunnah yang berpendapat bahwa iman memiliki bagian-bagian atau cabang-cabang. Jumlah cabang-cabang iman itu lebih dari 73 bagian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Iman ada 73 lebih atau 63 lebih bagian. Yang paling utama ialah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan satu bagian dari iman” [HR Muslim, no. 35]

Di antara cabang-cabang iman itu ada yang merupakan pokok-pokok iman. Jika cabang tersebut hilang maka keimanan juga hilang. Cabang-cabang ini, seperti rukun iman yang enam. Demikian juga ada sebagian cabang iman yang merupakan furu` (cabang kecil). Jika cabang tersebut hilang maka keimanan tidak hilang, akan tetapi nilai dan kadarnya berkurang. Misalnya seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itulah iman itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan.

Kemudian anggapan kaum Murji`ah yang berpendapat bahwa iman itu hanya satu bagian, berarti keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan bisa dianggap setara dengan keimanan para nabi dan malaikat. Sehingga adakah kerusakan yang lebih besar dari anggapan ini?

[2]. Dengan anggapan karena iman itu hanya satu bagian, maka keimanan tidak bertambah dan tidak berkurang.

Bantahan:
Anggapan mereka ini bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah dan dapat berkurang. Allah Ta’ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. [Ali 'Imran :173]

Ketika Imam Sufyan bin ‘Uyainah ditanya, apakah iman itu bertambah dan berkurang? Maka beliau menjawab: ”Tidakkah kamu membaca ‘maka perkataan itu menambah keimanan mereka’ -Qs Ali ‘Imran/3 ayat 173- ‘dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk’ -Qs al-Kahfi/18 ayat 13”. [12]

[3]. Tidak boleh berkata “insya Allah” dalam menyatakan keimanan. Karena berarti menunjukkan keragu-raguan. Bahkan sebagian kaum Murji`ah mengafirkan orang yang melakukannya.

Bantahan:
Jika perkataan “insya Allah” untuk menyatakan keimanan itu sebagai bentuk keraguan, maka perkataan itu tidak boleh. Karena keimanan harus dengan keyakinan.

Seseorang menyatakan “insya Allah” dalam menyatakan keimanan, bisa jadi karena hal lainnya, seperti karena tidak mengetahui akhir hayat seseorang. Sebagaimana kita ketahui, penilaian keimanan itu adalah di akhir hayatnya. Atau karena iman yang sempurna itu mencakup melakukan seluruh kebaikan yang diperintahkan Allah, dan juga meninggalkan seluruh keburukan yang dilarang-Nya. Sehingga, jika seseorang mengatakan ”saya mukmin”, berarti dia memuji diri sendiri dengan mengatakan sebagai seorang mukmin. Jika persaksiaannya benar, berarti ia menyatakan diri sebagai ahli surga. Tentu hal ini batil.

Kesimpulannya, berkata “insya Allah” dalam menyatakan keimanan, bisa terlarang dan bisa saja dibolehkan, sebagaimana perincian di atas. Wallahu a’lam. [13]

[4]. Murji`ah berpendapat bahwa amalan anggota badan tidak termasuk iman.

Bantahan:
Pendapat seperti ini tentu bertentangan dengan ijma’ Salaf yang menyatakan bahwa amal anggota badan termasuk iman. Penjelasan masalah ini telah dijelaskan dalil-dalilnya di depan.

[5]. Dengan prinsip sesat ini, kaum Murji`ah berpandangan bahwa tidak kekufuran yang terjadi pada anggota badan. Begitu pula perbuatan maksiat tidak mengeruhkan kemurnian iman.

Bantahan:
Pandangan ini bertentangan dengan ijma’ Salaf yang menyatakan bahwa kekafiran bisa terjadi karena kayakinan, perkataan, perbuatan, atau keraguan. Begitu pula perbuatan maksiat itu bisa mengurangi nilai keimanan. Bahkan bagi pelakunya dikhawatirkan menemui su’ul khatimah.

PEMBUKTIAN BERSIH DAN TERBEBAS DARI PEMIKIRAN MURJI`AH
Para ulama salaf telah menyebutkan beberapa penjelasan yang menunjukkan bersih dan terbebasnya seseorang dari pemikiran irja’. Maknanya, barangsiapa mengatakannya maka ini menunjukkan indikasi bahwa orang tersebut bersih dari sifat irja’ yang tercela.

Perkataan itu ialah sebagai berikut.
[1]. Mengatakan bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.

[2]. Menyatakan bahwa dosa-dosa akan membahayakan walaupun ada keimanan, dan dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan.

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang orang yang mengatakan ”iman itu bertambah dan berkurang”, maka beliau menjawab: ”Orang itu bersih dari irja`”[14]

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: ”Barangsiapa mengatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, iman itu bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari irja’ semuanya, (dari) awal hingga dan akhirnya”.[15]

[3]. Menyatakan boleh mengucapkan “insya Allah” dalam keimanan.
Imam Abdur-Rahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ”Jika seseorang meninggalkan pernyataan ‘insya Allah’ (istitsnâ) dalam keimanan, maka itu adalah prinsip irja`”[16]

[4]. Menyatakan bahwa kekufuran bisa terjadi pada amalan-amalan anggota badan.
Hal ini karena semua firqah Murji`ah menyatakan bahwa tidak terjadi kekafiran dengan sebab amalan-amalan anggota badan.

[5]. Menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ”Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak ‘engkau berpemahaman irja`?’, (namun) beliau menjawab ‘aku menyatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, maka bagaimana (mungkin) aku menjadi orang yang memiliki pemahaman irja’?”[17]

Dari riwayat ini kita mengetahui bahwa tuduhan terhadap seorang ulama sebagai seorang Murji’ah –padahal tidak- sudah terjadi pada zaman Imam Ibnul-Mubarak. Sehingga tidak heran jika tuduhan-tuduhan itu juga bergema pada masa kini terhadap sebagian tokoh-tokoh Salafiyyin, sebagaimana dituduhkan kepada Imam al-Albani dan sebagian murid beliau- padahal mereka bersih dari tuduhan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang melontarkan tuduhan itu hendaklah mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam :

“Barangsiapa berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, Allah akan menempatkannya pada lumpur neraka, sehingga dia keluar dari apa yang telah dia katakana” [18]

Demikian sedikit penjelasan tentang firqah Murji`ah dan kesesatannya. Semoga bermanfaat.

Maraji`:
[1]. Al-Imâm al-Albâni wa Mauqifuhu minal-Irja`, Abdul ‘Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, Darul-Hijrah, hlm. 23.
[2]. ‘Aqidah Wasithiyah, Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah, dengan syarah-syarahnya.
[3]. Al-Minhah Ilâhiyah fî Tahdzîb Syarh ath-Thahâwiyah, ‘Abdul-Akhir Hammad al-Ghunaimi, Darush-Shahabah.
[4]. Majmu’ Fatâwa, Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah.
[5]. Tafsir Ibni Katsir.
[6]. Dan lain-lain.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo]
__________
Foote Note
[1]. Majmu Fatawa (7/638)
[2]. Syarh Aqidah Wasithiyah, Syaikh Muhammad Khalil Harras, hlm 231, Takhrij Alwi bin Abdul Qadir As-Saqqaf
[3] Catatan kaki kitab al-Istighatsah ar-Raddu alal Bakri, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdullah bin Dajin as-Suhaili, Darul Wathan, Cetakan I, Tahun 1417H/1997M (1/212-213)
[4]. Majmu Fatawa (7/195)
[5]. Majmu Fatawa (7/609)
[6]. HR Muslim, no. 1599 Hadits ini juga diriwayatkan Imam al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi, dengan lafazh yang berbeda-beda namun maknanya sama. Hadits ini dimuat oleh An-Nawawi dalam Arba’in an-Nawawiyah, hadits no. 6, dan Riyadush Shalihin no. 588
[7]. Majmu Fatawa (7/611)
[8]. Majmu Fatawa (7/611)
[9]. Al-Minhah Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, Darush Shahabah, hlm. 132
[10]. Kitabus Shalah, hlm. 54
[11]. Tafsirul Qur’anil Azhim surat Al-Baqarah : 143
[12]. Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, hlm. 117, juga Ibnu Baththah dalam al-Ibanah, no. 1142. Dinukil dari 39
[13]. Lihat al-Minhaj Ilahiyah fi Tahdzib Syarh ath-Thahawiyah, hlm. 153-156
[14]. As-Sunnah, al-Khallal (2/581), as-Sunnah, Abdullah bin Imam Ahmad, no. 600. Dinukil dari al-Imam Al-Albani wa Mauqifuhu minal Irja, karya Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23
[15]. Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hlm.132 Dinukil dari al-Imam Al-Albani wa Mauqifuhu minal Irja, karya Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23
[16]. Diriwayatkan oleh al-Aajuri dalam asy-Syari’ah (2/644) Dinukil dari al-Imam Al-Albani wa Mauqifuhu minal Irja, karya Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23
[17]. As-Sunnah, al-Khallal (3/566). Dinukil dari al-Imam Al-Albani wa Mauqifuhu minal Irja, karya Abdul Aziz bin Rayyis ar-Rayyis, hlm. 23
[18]. Shahih HR Abu Dawud, no. 3597, Ahmad (2/270 dan al-Baihaqi (6/82)

© copyleft almanhaj.or.id