Muhadiddtsin


Para Shahabiyah Rasulullah


صلى ا لله عليه وسلم

Para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in


Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti: Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya

Para Sahabat Rasulullah


صلى ا لله عليه وسلم

Keluarga Rasulullah


صلى ا لله عليه وسلم

Istri- istri Nabi زوجات النبي

Putra-Putri Nabi

Cucu Nabi

Paman Nabi

Para Ulama Salaf Lainnya


Para Ulama Salaf Ahlul Hadits selain yang disebutkan diatas yang masyur dizamannya antara lain :

Para Ulama sekarang yang berjalan diatas As-Sunnah yaitu:

Para Ulama Ahlul Hadits


بسم الله الرحمن الرحيم

Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :

1. Khalifah ar-Rasyidin :
Abu Bakr Ash-Shiddiq
Umar bin Al-Khaththab
Utsman bin Affan
Ali bin Abi Thalib

2. Al-Abadillah :
Ibnu Umar
Ibnu Abbas
Ibnu Az-Zubair
Ibnu Amr
Ibnu Mas’ud
Aisyah binti Abubakar
Ummu Salamah
Zainab bint Jahsy
Anas bin Malik
Zaid bin Tsabit
Abu Hurairah
Jabir bin Abdillah
Abu Sa’id Al-Khudri
Mu’adz bin Jabal
Abu Dzarr al-Ghifari
Sa’ad bin Abi Waqqash
Abu Darda’

3. Para Tabi’in :
Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
Urwah bin Zubair wafat 99 H
Sa’id bin Jubair wafat 95 H
Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
Muhammad bin Sirin wafat 110 H
Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
Ikrimah wafat 105 H
Asy Sya’by wafat 104 H
Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
Aqamah wafat 62 H

4. Para Tabi’ut tabi’in :
Malik bin Anas wafat 179 H
Al-Auza’i wafat 157 H
Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H

5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
Imam Syafi’i wafat 204 H

6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
Ahmad bin Hambal wafat 241 H
Yahya bin Ma’in wafat 233 H
Ali bin Al-Madini wafat 234 H
Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
Ibnu Qutaibah Wafat 236 H

7. Kemudian murid-muridnya seperti:
Al-Bukhari wafat 256 H
Muslim wafat 271 H
Ibnu Majah wafat 273 H
Abu Hatim wafat 277 H
Abu Zur’ah wafat 264 H
Abu Dawud : wafat 275 H
At-Tirmidzi wafat 279
An Nasa’i wafat 234 H

8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
Ad-Daruquthni wafat 385 H
Ath-Thahawi wafat 321 H
Al-Ajurri wafat 360 H
Ibnu Hibban wafat 342 H
Ath Thabarany wafat 360 H
Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
Al-Lalika’i wafat 416 H
Al-Baihaqi wafat 458 H
Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H

9. Murid-Murid Mereka :
Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
Ibnu Taimiyah wafat 728 H
Al-Mizzi wafat 742 H
Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
Ibnu Katsir wafat 774 H
Asy-Syathibi wafat 790 H
Ibnu Rajab wafat 795 H

10. Ulama Generasi Akhir :
Ash-Shan’ani wafat 1182 H
Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
Al-Mubarakfuri wafat 1427 H
Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
Ahmad Syakir wafat 1377 H
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah

Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan

di ambil dari http://ahlulhadiits.wordpress.com/

Hukum Membatalkan Bai’at

Bai’at merupakan ikatan janji, dan seorang muslim diperintahkan untuk menyempurnakan ikatan janji tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)
Juga firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)
Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepas ketaatannya maka dia bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851, dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Sabdanya pula:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar. Karena tidaklah seseorang keluar sejengkal dari ketaatan kepada penguasa lalu dia mati, kecuali dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 6645, Muslim no. 1849, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Namun perlu dipahami bahwa bukanlah mati jahiliah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan kafir. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu: “Yang dimaksud mati jahiliah yaitu seperti matinya kaum jahiliah di atas kesesatan dan tidak mempunyai pemimpin yang ditaati. Sebab, dahulu mereka tidak mengenal kepemimpinan tersebut. Bukan yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 13/7)
As-Suyuthi rahimahullahu juga mengatakan, “Makna ‘dia mati seperti mati jahiliah’ yaitu keadaan matinya sebagaimana matinya kaum jahiliah dahulu, dalam kesesatan dan perpecahan.” (Syarah Sunan An-Nasa’i, As-Suyuthi, 7/123)

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Kapan Bai’at Dianggap Sah?




Bai’at yang dilakukan kepada seseorang dianggap sah jika:

Pertama: pemimpin terdahulu menentukan penggantinya.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyerahkan urusan khilafah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu menurut sebagian pendapat para ulama1. Demikian pula Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu yang telah menyerahkan tampuk khilafah kepada ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan rahiyallahu ‘anhuma yang menyerahkan khilafah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah.

Kedua: ketetapan ahlul halli wal ‘aqdi
Dengan cara berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama, orang-orang bijak, dan yang berkompeten dalam bidang pemerintahan. Mereka bermusyawarah untuk menentukan pilihan siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada saat diangkatnya Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu.
Demikian pula ketika ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang sahabat yang merupakan bagian dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Mereka adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan g, yang akhirnya mereka sepakat untuk memilih ‘Utsman bin ‘Affan rahiyallahu ‘anhu sebagai khalifah. Demikian pula pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas, ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan:
1) Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
2) Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
3) Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.
(lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6)
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
1) Orang yang dibai’at harus memenuhi persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:
a) Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik dan bukan pula kafir.
b) Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
c) Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
d) Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
e) Memiliki pandangan yang baik dalam mengurusi kemaslahatan umat.
f) Keberanian dan ketangguhan untuk melindungi rakyatnya serta berjihad melawan musuh.
g) Harus berasal dari nasab Quraisy2.
(Lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6. Lihat pula Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,1/28)
2) Jika yang memiliki sifat-sifat untuk menjadi seorang pemimpin lebih dari satu, maka hendaknya mereka memilih mana yang lebih memberikan maslahat bagi umat dan lebih layak. Yang terbaik adalah yang memiliki dua sifat ini: amanah dan kekuatan. (lihat As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, hal. 19-54)
3) Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin harus didukung oleh kekuatan yang dapat mengatur masyarakat, seperti kekuatan militer dan yang semisalnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
Ini pulalah makna ucapan Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu:
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا مِنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي تَابَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
“Barangsiapa membai’at seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbai’at dan yang dibai’at).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Dari sini jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jamaah dan kelompok yang menetapkan bai’at kepada para pengikutnya adalah bai’at yang batil dan tidak sah. Wajib bagi yang telah melakukannya untuk segera meninggalkannya.
4) Bukan syarat sahnya bai’at adalah kesepakatan seluruh dari kalangan ahlul halli wal ‘aqdi, namun jika telah dibai’at oleh sebagian ahlul halli wal ‘aqdi dan mendapat dukungan kekuatan dari ahli syaukah (yang memiliki kekuatan, seperti kekuatan militer, pen.), maka dia menjadi seorang pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam.” (Minhajus Sunnah, 1/527)
Beliau juga berkata, “Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at oleh ahli syaukah (yang memiliki kekuatan), meskipun mereka tidak sepakat atasnya seperti kesepakatan mereka terhadap (khalifah) sebelumnya. Namun tidak diragukan bahwa beliau mempunyai kekuasaan dan kekuatan dengan bai’at ahli syaukah terhadapnya. Nash telah menunjukkan bahwa kekhilafahan beliau merupakan khilafah nubuwwah.” (Minhajus Sunnah, 4/388)

Ketiga: at-taghallub (kudeta)
Yang dimaksud taghallub adalah ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan melakukan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya. -Meskipun cara ini haram dilakukan terhadap pemimpin sebelumnya-, namun bila mereka berhasil merebut serta menguasai kursi kekuasaan dan mengatur rakyat, maka dia menjadi seorang pemimpin yang sah dan wajib ditaati, meskipun tidak memenuhi persyaratan imamah. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata:
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat.” (Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata menukil dari Ibnu Baththal rahimahullahu:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat.” (Fathul Bari, 13/7)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu mengatakan:
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239)

1 Namun pendapat yang benar perihal bagaimana proses Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah adalah pendapat yang akan disebutkan.
2 Hal ini dalam kondisi ahlul halli wal ‘aqdi memilih dan jika orang Quraisy tersebut memenuhi syarat-syarat yang lain. Disamping tentunya memilih jenis laki-laki, karena perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara.

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
[Print View] [kirim ke Teman]

Bagaimana Seseorang Berbai’at?




Dalam berbai’at, ada beberapa cara yang bisa dilakukan:

Jabatan tangan yang disertai ucapan
Yaitu dengan mendatangi seorang yang dibai’at dan berjabat tangan dengannya lalu mengucapkan pernyataan bai’atnya. Ini yang biasa dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan orang yang memungkinkan untuk datang kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa yang membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya maka hendaknya dia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu (yang memenggal adalah pemerintah yang sah, red.).” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Kata shafqah berasal dari kata tashfiq bil yad yaitu menepuk dengan tangan. Sebab dua orang yang saling berbai’at meletakkan tangannya di tangan yang lainnya ketika bersumpah dan berbai’at. (Lihat ‘Aunul Ma’bud,11/214, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, Ibnul Atsir, 3/38)

Ucapan tanpa jabatan tangan
Seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at dari para wanita. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata setelah menyebutkan poin-poin bai’at:
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ وَمَا بَايَعَهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ
“Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita sekalipun dalam membai’at. Beliau tidak membai’at mereka melainkan hanya dengan ucapan.” (HR. Al-Bukhari no. 2564, Muslim no. 1866. Lafadz ini dari riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu)

Utusan amir
Ini berlaku bagi orang yang memiliki udzur untuk bai’at secara langsung, seperti orang yang terkena penyakit lepra. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata: “Di antara utusan Tsaqif ada seseorang yang terkena penyakit lepra, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya untuk mengatakan kepadanya: ‘Pulanglah, sungguh aku telah membai’atmu’.” (HR. Muslim no. 2231)

Mengirim surat
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tatkala menyatakan bai’at kepada Abdul Malik bin Marwan melalui surat yang dikirimkan kepadanya. (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 7203)
Juga sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Najasyi, di mana beliau menulis surat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan: “Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Muhammad Rasulullah, dari An-Najasyi Al-Asham bin Abjar. Salamun alaika, wahai Nabi Allah, dari Allah warahmatullahi wabarakatuh. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia yang telah memberi petunjuk kepadaku. Telah sampai kepadaku suratmu, wahai Rasulullah, tentang apa yang engkau sebutkan perihal Isa q. Demi Rabb pemilik langit dan bumi, sesungguhnya Isa tidak lebih dari apa yang telah engkau sebutkan. Dan kami telah mengetahui apa yang engkau utus kepada kami. Kami telah menjamu anak pamanmu (Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, pen.) dan para sahabatnya. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah yang jujur dan dibenarkan. Aku telah berba’iat kepadamu, dan berbai’at kepada anak pamanmu. Dan aku telah berserah diri kepada Allah Rabb sekalian alam.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah 2/309, Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah 1/97, Ath-Thabari dalam Tarikhnya 2/132, dari Muhammad bin Ishaq. Namun riwayatnya mu’dhal)
Namun tidak disyaratkan setiap yang menyatakan bai’atnya untuk diharuskan mendatangi pemimpin lalu berbai’at di hadapannya. Bai’at ahlul halli wal ‘aqdi telah mewakili yang lainnya, dengan cukup menampakkan sikap mendengar dan taat. Al-Maziri rahimahulllahu berkata:
يَكْفِي فِي بَيْعَةِ الْإِمَامِ أَنْ يَقَعَ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَلَا يَجِبُ الْاِسْتِيعَابُ، وَلَا يَلْزَمُ كُلَّ أَحَدٍ أَنْ يَحْضُرَ عِنْدَهُ وَيَضَعَ يَدَهُ فِي يَدِهِ، بَلْ يَكْفِي الْتِزَامُ طَاعَتِهِ وَالْانْقِيَادُ لَهُ بِأَنْ لاَ يُخَالِفَهُ وَلاَ يَشُقَّ الْعَصَا عَلَيْهِ
“Cukup dalam membai’at imam dilakukan pihak ahlul halli wal ‘aqdi dan tidak wajib bagi seluruhnya. Tidak mesti setiap orang harus hadir lalu meletakkan tangannya di tangan (orang yang di bai’at). Namun cukup menyatakan komitmen ketaatan dan tunduk kepadanya dengan tidak menyelisihinya serta tidak merusak persatuan.” (Fathul Bari, 7/494)
An-Nawawi rahimahulllahu berkata pula:
أَمَّا الْبَيْعَةُ فَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَةُ كُلِّ النَّاسِ، وَلاَ كُلِّ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ، وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ مُبَايَعَةُ مَنْ تَيَسَّرَ إِجْمَاعُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ وَوُجُوهِ النَّاسِ
“Adapun bai’at, para ulama telah sepakat bahwa tidak disyaratkan sahnya bai’at dengan adanya bai’at dari seluruh manusia, tidak pula dari semua ahlul halli wal ‘aqdi. Hanyalah disyaratkan bai’at mereka yang mudah untuk mencapai kesepakatan mereka dari kalangan para ulama, para pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat.” (Syarah Muslim, An-Nawawi rahimahulllahu, 12/77)

Shighat bai’at
Inti dari shigat bai’at adalah menyatakan untuk senantiasa mendengar dan taat selama dalam perkara kebaikan. Shigat yang disebutkan dalam bai’at sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dikehendaki dalam bai’at tersebut. Apakah bai’at untuk mendengar dan taat, bai’at untuk berjihad, bai’at untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan saling menasihati antara sesama muslim, bai’at untuk berperang hingga titik darah penghabisan, serta yang semisalnya, yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang diamalkan oleh para ulama salaful ummah tatkala mereka berbai’at kepada imam di masanya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu dari Abdullah bin Dinar rahimahulllahu, dia berkata: Aku menyaksikan tatkala kaum muslimin sepakat untuk mengangkat Abdul Malik, beliau menulis:
إِنِّي أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, dan sesungguhnya anak-anakku telah menyatakan hal yang sama.” (HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205)

[Print View] [kirim ke Teman]
Bai’at Bid’ah di Kalangan Hizbiyyah


Di antara manhaj bid’ah di dalam Islam adalah apa yang dilakukan sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang terjerumus ke dalam fitnah hizbiyyah. Mereka menerapkan hadits-hadits tentang bai’at, yang seharusnya dipahami sebagai kewajiban taat seorang muslim kepada pemerintahnya, namun diarahkan kepada kelompok mereka masing-masing, yang mewajibkan para pengikutnya untuk berbai’at kepada pemimpin kelompoknya. Barangsiapa yang tidak berbai’at kepadanya (pemimpin kelompok) maka dia mati jahiliah. Lalu dibangun di atas pemahaman ini bahwa yang dimaksud mati jahiliah adalah kafir dan keluar dari Islam. Sehingga yang tidak berbai’at kepada pimpinan jamaahnya dianggap kafir dan halal darahnya.
Kemudian, berdasarkan pemikiran ini, di antara mereka ada yang sampai kepada tingkat pemahaman menganggap halalnya mencuri atau merampas harta kaum muslimin dengan keyakinan bahwa harta mereka adalah ghanimah (harta rampasan perang milik orang kafir). Atau enggan shalat di belakangnya di masjid-masjid kaum muslimin karena menganggap bermakmum di belakang orang kafir hukumnya tidak sah. Bahkan sampai pada tingkatan upaya melakukan gerakan bawah tanah yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan alasan bahwa pemerintahan mereka telah kafir dan tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga telah gugur kewajiban taat dan kewajiban berbai’at kepadanya. Sedangkan bai’at hanyalah diserahkan kepada pemimpin kelompoknya saja. Dari sinilah cikal-bakal munculnya kaum teroris Khawarij yang memorakporandakan keamanan negeri-negeri muslimin.
Di sisi lain, sebagian bai’at diterapkan oleh kelompok-kelompok bid’ah hizbiyyah berorientasi bukan pada pemberontakan terhadap penguasa yang sah dan melakukan tindak kekerasan. Namun lebih fokus kepada sikap kultus individu kepada pemimpin kelompok dan menaati seluruh ucapannya, serta menganggap bahwa seluruh ucapannya adalah benar dan tidak pernah salah. Ini seperti keyakinan kelompok-kelompok Shufiyah (Sufi) terhadap pemimpin dan orang yang dianggapnya sebagai wali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Namun secara umum, bai’at-bai’at bid’ah hizbiyyah tersebut telah menanamkan pemahaman akan wajibnya taat kepada pemimpin yang dibai’at dan diharamkan menyelisihi perintah serta aturannya, karena hal itu akan menyebabkan mereka mati dengan cara mati jahiliah. Demikian menurut sangkaan mereka.
Abu Qilabah rahimahullahu berkata:
مَا ابْتَدَعَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا اسْتَحَلُّوا السَّيْفَ
“Tidaklah satu kaum melakukan satu bid’ah melainkan mereka akan menghalalkan pedang (yakni menghalalkan darah kaum muslimin, pen.).” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah, Al-Lalaka’i, no. 247)
Berikut ini, kami sebutkan beberapa kelompok sempalan yang menerapkan metode bai’at kepada para pengikutnya untuk taat kepada pemimpinnya.

Bai’at jamaah Al-Ikhwanul Muslimun (IM)
Di dalam jamaah Al-Ikhwanul Muslimun, bai’at sudah ditetapkan oleh pemimpinnya semenjak berdirinya, yakni Hasan Al-Banna. Dalam salah satu tulisannya, Hasan Al-Banna menjelaskan tentang bai’at dalam jamaahnya, “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kami ada sepuluh maka hafalkanlah: Pemahaman, ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, ketaatan, teguh, jernihkan pemikiran, persaudaraan, dan kepercayaan.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/1-2)
Tatkala menjelaskan masalah ketaatan, dia berkata: “Yang saya maksudkan dengan ‘ketaatan’ adalah melaksanakan perintah dan menjalankannya sendirian, baik di saat sulit atau mudah, di saat semangat ataupun terpaksa.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, jilid 1/7)
Dia menyebutkan tiga tahapan: ta’rif, takwin, dan tanfidz. Lalu dia menjelaskan tahapan kedua takwin dengan mengatakan, “Aturan dakwah pada tahapan ini adalah Sufi yang murni dalam hal rohaninya dan ketentaraan murni dari sisi amalannya. Dan syiar kedua perkara ini adalah ‘perintah dan taat’ tanpa disertai keraguan, waswas, dan rasa berat.” (Rasa’il Hasan Al-Banna, 1/7)
Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu mengomentari bai’at Al-Ikhwanul Muslimun ini:
“Kritikan saya terhadap bai’at ini dari beberapa sisi:
Pertama: Bai’at merupakan hak penguasa tertinggi. Barangsiapa yang mengambil bai’at bukan pada penguasa tertinggi, sungguh dia telah berbuat bid’ah yang tercela di dalam agama.
Kedua: Tidak diketahui bahwa para pengemban dakwah mengambil bai’at atas dakwah mereka. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu telah menegakkan dakwah di abad ke-12 hijriah di Najd, namun beliau tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun untuk taat kepadanya. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah dalam dakwahnya. Demikian pula Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Qar’awi ketika menegakkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di Kerajaan Arab Saudi bagian selatan. Beliau tidak pernah mengatakan kepada seseorang bahwa dia ingin mengikatnya dengan bai’at dalam dakwahnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberi berkah dalam dakwahnya. Sebelum mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tidak pernah mengambil bai’at dari siapapun dan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberkahi dakwahnya.
Ketiga: Bai’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih sedikit dari apa yang disebutkan Al-Banna. Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma disebutkan:
“Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, sebatas kemampuan kalian.”
Ini bagian dari sepuluh rukun yang disebutkan. Manakah dalil atas rukun-rukun lainnya?
Keempat: Dia menjadikan bentuk ketaatan pada tahapan kedua dari tiga tahapan dakwah yang dia ada-adakan sebagai ketaatan militer yang harus dijalankan, baik perintah itu salah atau benar, batil atau haq. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para sahabatnya untuk mendengar dan taat dan berkata “Sesuai kemampuan kalian.”
(Dinukil dengan ringkas dari kitab Al-Maurid Al-Adzb Az-Zulal, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi rahimahullahu, hal. 214-217)

Bai’at jamaah 354/ Islam Jamaah
Dalam Islam Jamaah, yang bernaung dibawah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), perintah amir mendapat tempat istimewa dan sangat menentukan serta merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits yang manqul. Hal itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Kepatuhan mereka kepada amir adalah sami’na wa atha’na mas tatha’na (kami mendengar dan taat semampu kami). Untuk mempertebal keyakinan pengikutnya, mereka mengarahkan ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada ulil amri, kepada wajib taat kepada amir jamaahnya. Segala keputusan ada di tangan amir. Mulai dari boleh tidaknya seseorang berdakwah sampai kepada soal nikah. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh atau tidak menikah dengan gadis atau pemuda pilihannya, ataupun bercerai dari istri atau suaminya. Demikian pula dalam soal harta. Amirlah yang menentukan apakah seseorang boleh menjual hartanya, misalnya sawah, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 145)
Demikian pula dalam hal penafsiran, semua anggota Islam Jamaah dilarang menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari imam. Sebab penafsiran yang tidak berasal dari imam semuanya salah, sesat, berbahaya, dan tidak manqul. (Bahaya Islam Jamaah, hal. 22)

Jamaah Ansharut Tauhid
Jamaah yang dipimpin oleh Abu Bakr Abdush Shamad Ba’asyir yang merupakan salah satu tokoh Khawarij di negeri kita ini, juga menerapkan sistem bai’at as-sam’u wat tha’ah (mendengar dan taat) kepada para pengikutnya. Ba’asyir –yang sebelumnya juga pernah menjadi Amir MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) sebelum terjadinya perpecahan di antara mereka– juga menerapkan pola yang sama ketika masih di MMI, yaitu bai’at untuk mendengar dan taat kepadanya. Ba’asyir memosisikan dirinya sebagai amir yang harus ditaati layaknya penguasa sebuah negeri. Nash-nash yang seharusnya diarahkan kepada penguasa muslim di sebuah negeri, dia terapkan kepada organisasi dan para pengikutnya.
Dalam makalah “Selayang pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)” terbitan jamaah tersebut, pada hal. 7, dia menyebutkan sistem yang diterapkan dalam jamaah ini:
“Sistem organisasi perjuangan adalah dalam bentuk jamaah dan imamah.”
Juga disebutkan:
“Amir wajib ditaati selama perintah dan kebijaksanaannya tidak maksiat berdasarkan dalil yang qath’i.”

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59) [Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid hal. 9]
Perhatikanlah, ayat yang semestinya diterapkan untuk penguasa negeri justru diarahkan kepada jamaah dan kelompoknya, bak mendirikan negara di dalam sebuah negara.
Jamaah ini mengikat para pengikutnya dengan ikatan janji, yang disebut mu’ahadah, mu’aqadah, atau yang lebih masyhur dengan penyebutan bai’at.
Dalam Selayang Pandang tentang I'lan Jamaah Ansharut Tauhid disebutkan:
“Mu’ahadah artinya perjanjian atas ketaatan dalam hal yang ma’ruf. Berarti, pemberian janji (sumpah setia) dari seseorang kepada amir untuk sam’u dan tha’ah dalam hal selain maksiat. Baik dalam keadaan senang atau terpaksa, dalam kesempitan atau kelapangan, serta tidak mencabut bai’at dari ahlinya dan menyerahkan urusan kepadanya.” (Selayang Pandang tentang I’lan Jamaah Ansharut Tauhid, hal. 23)
Dengan doktrin sam’u (mendengar) dan tha’ah (taat) kepada para pengikutnya, mereka pun rela berjuang dengan harta dan jiwa mereka sekalipun, jika mendapat perintah dari amir jamaahnya, Abu Bakr Ba’asyir, meskipun bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebab, yang wajib ditaati menurut mereka adalah amir jamaahnya, bukan amir Indonesia yang dianggap telah melakukan pelanggaran syariat.
Bahkan ketika masih menjabat sebagai amir MMI, dengan tegas mengeluarkan pernyataan sikap atas nama ahlul halli wal ‘aqdi Majelis Mujahidin, dengan judul Fatwa syar’i terhadap pemerintahan SBY-JK, yang mengharamkan tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Pada bagian akhir menyebutkan keputusan yang berbunyi: “Apabila SBY-JK tidak mengembalikan amanah kepada rakyat secara konstitusional, maka rakyat tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menaatinya.” (Risalah Mujahidin, edisi 5 Muharram 1428 H/Feb 2007, hal. 89)
Lebih tegas lagi menyatakan bahwa pemerintah sekarang ini telah murtad dan keluar dari Islam, dalam tulisan yang berjudul “SURAT ULAMA kepada Presiden Republik Indonesia”, di mana Abu Bakr Ba’asyir menjadi urutan pertama yang menandatangani isi surat tersebut. Disebutkan pada hal. 25-26:
“Setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah (terpercaya) baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Para penguasa muslim yang menguasai negeri-negeri kaum muslimin hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman mereka, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.”
Dari sini semakin nampak, bahwa bai’at JAT kepada pemimpinnya adalah bai’at pemberontakan dan khuruj (keluar) dari ketaatan kepada penguasa negeri, karena mereka telah dianggap kafir dan murtad.
Masih banyak lagi kelompok dan organisasi yang mengikat para pengikutnya dengan sistem jamaah dan imamah, yang semestinya diarahkan kepada penguasa negeri. Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu berkata:
أَمَّا مُبَايَعَةُ حِزْبٍ مِنَ الْأَحْزَابِ لِفَرْدٍ لِرَئِيسٍ لَهُ، أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْجَمَاعَاتِ لِرَئِيْسِهِمْ وَهَكَذَا، فَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِنَ الْبِدَعِ الْعَصْرِيِّةِ الَّتِي فَشَتْ فِي الزَّمَنِ الْحَاضِرِ، وَذَلِكَ بِلَا شَكٍّ مِمَّا يُثِيرُ فِتَنًا كَثِيرَةً جِدًّا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
“Adapun bai’at yang dilakukan satu kelompok bagi seseorang terhadap pemimpinnya, atau satu jamaah kepada pemimpinnya, dan yang semisalnya, pada hakikatnya termasuk bid’ah yang baru muncul pada masa kini. Tidak diragukan lagi bahwa ini dapat menimbulkan berbagai fitnah yang sangat banyak di kalangan kaum muslimin.” (Silsilah Al-Huda wan Nur, kaset no. 288)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata pula:
الْبَيْعَةُ الَّتِي تَكُونُ فِي بَعْضِ الْجَمَاعَاتِ بِيْعَةٌ شَاذَّةٌ مُنْكَرَةٌ، يَعْنِي أَنَّهَا تَتَضَمَّنُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَجْعَلُ لِنَفْسِهِ إِمَامَيْنِ وَسُلْطَانَيْنِ، الْإِمَامُ الْأَعْظَمِ الَّذِي هُوَ إِمَامٌ عَلَى جَمِيعِ الْبِلَادِ، وَالْإِمَامُ الَّذِي يُبَايِعُهُ وَتُفْضِي أَيْضًا إِلَى شَرٍّ لِلْخُرُوجِ عَلَى الْأَئِمَّةِ الَّذِي يَحْصُلُ بِهِ سَفْكُ الدِّمَاءِ وَإِتْلَافُ الْأَمْوَالِ مَا لَا يَعْلَمُهُ بِهِ إِلَّا اللهُ
“Bai’at yang terdapat pada jamaah-jamaah merupakan bai’at yang ganjil dan mungkar. Di dalamnya terkandung makna bahwa seseorang menjadikan untuk dirinya dua imam dan dua penguasa, (pertama) imam tertinggi yang merupakan imam yang menguasai seluruh negeri, dan (kedua) imam yang dibai’atnya. Juga akan menjurus kepada kejahatan, dengan keluar dari ketaatan kepada para penguasa, yang dapat menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya harta benda, yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 6, side B)
Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim menyadari bahaya munculnya kelompok-kelompok yang mengikat para pengikutnya dengan bai’at. Munculnya kelompok yang seperti ini akan semakin menambah perpecahan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya g. Wallahu a’lam.

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal
sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=928
[Print View] [kirim ke Teman]