PRINSIP AHLUS SUNNAH DALAM MENYIKAPI PENGUASA

Firman Allah berikut yang merupakan pedoman yang senantiasa dipegangi oleh
Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi pemerintahan atau khilafah yang ada:

يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan Ta'atilah Rasul-Nya, dan
ulil amri diantara kalian." (QS. An Nisa': 59)

Pada ayat ini Allah memerintahkan kita semua untuk taat kepada Allah, yaitu
dengan mengikuti kitab-Nya, dan mentaati Rasulullah shollallahu 'alaihi wa
sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta mentaati para pemimpin (ulul 'amri)
diantara kita, baik ulul 'amri dari kalangan ulama' atau umara' (penguasa). Ini
adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat kepada Allah, Rasulullah dan
para pemimpin diantara kita. Akan tetapi walau demikian, pada ayat ini Allah
Ta'ala mengulang perintah untuk taat, yaitu kata ta'atilah (athi'u) sebanyak
dua kali, yaitu taat kepada Allah dan ta'at kepada Rasulullah shollallahu
'alaihi wa sallam, akan tetapi ketika menyebutkan ulul 'amri, Allah tidak
mengulang kata ta'atilah (athi'u).

Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kewajiban ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya bersifat mutlak karena sebagai konsekwensi pengakuan dan keimanan
kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal
selain dengan syari'at yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan keta'atan
kepada ulul 'amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi keta'atan kepada mereka
hanya wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma'ruf atau selama tidak melanggar
dengan kewajiban ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman semacam ini dengan
tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabdanya:

عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه و سلم السمع والطاعة على المرء
المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة

"Dari sahabat Ibnu Umar rodiallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa
sallam Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta'ati, baik dalam
hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan
kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta'ati." (Bukhari dan Muslim)

Dan pada hadits lain Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam lebih tegas
bersabda:

يَكُوْنُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ
بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ
فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ
أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ
وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

"Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukan petunjuk-petunjukku dan
tidak melakukan sunnah-sunnahku. Dan akan ada diantara mereka orang-orang yang
hati-hati mereka adalah hati-hati syaitan yang terdapat di jasad manusia." Aku
(Hudzaifah) berkata, "Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal
seperti ini?" Rasulullah bersabda, "Engkau tetap harus setia mendengar dan taat
kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu atau mengambil hartamu, maka
tetaplah untuk setia mendengar dan taat!" (Riwayat Muslim)

Adakah penguasa yang lebih dzolim dari penguasa yang tidak menjalankan syari'at
Nabi, berhati setan, memukul rakyatnya, dan merampas harta mereka??

Suatu gambaran yang amat mengerikan, para pemimpin atau penguasa yang amat
lalim, sampai-sampai dinyatakan hati mereka adalah hati setan. Bila seorang
pemimpin telah berhati setan, maka ia akan menjadi bengis, berdarah dingin,
korupsi, sewenang-wenang, dan tidak kenal belas kasihan kepada orang lain.

Ibnu Hajar berkata: "Meskipun ia memukul punggungmu dan memakan hartamu",
perilaku ini banyak terjadi di masa pemerintahan Al-Hajjaaj dan yang
semisalnya." (Fathul Bari 13/36).

Lihatlah Ibnu Hajar menjadikan kepemimpinan Al-Hajjaaj sebagai contoh nyata
bagi penerapan hadits Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di atas. Al Hajjaj
adalah seorang tokoh yang amat bengis dan kejam, sampai-sampai khalifah Umar
bin Abdul 'Aziz pernah berkata:

لوتخابثت الأمم، فجاءت كل أمة بخبيثها، وجئنا بالحجاج لغلبناهم

"Seandainya seluruh umat berlomba-lomba dengan orang yang paling keji dari
mereka, kemudian setiap umat mendatangkan orang yang paling keji dari mereka
dan kita mendatangkan Al Hajjaj, niscaya kita dapat mengalahkan mereka."

Pada hadits lain Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ
وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ
وَيَلْعَنُوْنَكُمْ) قِيْلَ "يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟" فقال (لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ
مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا
يَدًا مِنْ طَاعَةٍ). رواه مسلم

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian dan kalian mencintai
mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan
seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan merekapun
membenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian."
Dikatakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, apakah tidak (sebaiknya tatkala
itu) kita melawan mereka dengan pedang?" Rasulullah berkata, "Tidak, selama
mereka masih menegakkan sholat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat
sesuatu yang kalian benci dari para pemimpin kalian, maka bencilah amalannya
dan janganlah kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan kepadanya." (Riwayat
Muslim)

Pada hadits lain Beliau shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

"Barangsiapa yang melihat sesatu dari pemimpinnya yang ia benci, maka hendaknya
ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah sejauh
sejengkal, kemudian ia mati maka kematiannya bagaikan kematian jahiliyah."
(Muttafaqun 'alaih)

Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap
bersabar jika melihat berbagai hal yang tidak kita sukai atau perbuatan mungkar
yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan barang siapa yang tidak bersabar dan
keluar dari ketaatannya sehingga memisahkan diri dari jama'ah kemudian ia mati
maka kematiannya dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam
sebagai kematian jahiliyah!

Ibnu Hajar berkata: "Yang dimaksud dengan mati jahiliyah (dalam hadits ini)...
yaitu keadaan matinya seperti matinya orang-orang di zaman jahiliyah yang mati
di atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati. Karena mereka tidak
mengenal adanya pemimpin. Dan bukanlah maksudnya ia mati dalam keadaan kafir
akan tetapi mati dalam keadaan bermaksiat... Dan yang mendukung bahwa maksud
dari jahiliyah adalah hanya sebatas penyerupaan (bukan makna dzohirnya mati
dalam keadaan kafir) adalah sabda Rasulullah yang lain:

مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِنْ
عُنُقِهِ

"Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama'ah sejengkal maka seakan-akan ia
telah melepaskan kekang Islam dari lehernya..." (Fathul Bari 13/7).

Ibnu Taimiyyah berkata: "Dan merupakan ilmu dan keadilan yang diperintahkan
untuk dilaksanakan adalah bersabar atas kedzoliman para penguasa dan kelaliman
mereka, sebagaimana hal ini merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah."
(Majmuu' Fataawaa 28/179).

Beliau juga berkata: "Dan diantara prinsip pokok pembahasan ini bahwasanya
hanya sekedar terdapatnya al-baghyu (kedzoliman) pada seorang penguasa atau
sebuah kelompok maka tidaklah mengharuskan untuk memerangi mereka. Bahkan tidak
pula membolehkan untuk memerangi mereka. Bahkan salah satu prinsip pokok yang
ditunjukan oleh dalil-dalil bahwasanya seorang penguasa yang dzolim maka
masyarakat diperintahkan untuk bersabar atas kelaliman dan kedzolimannya serta
tidak memerangi mereka, sebagaimana hal ini telah diperintahkan oleh Nabi pada
lebih dari satu hadits. Nabi tidak mengizinkan secara mutlak untuk mencegah
terjadinya kedzoliman dengan peperangan, bahkan bila pada upaya mencegah tindak
kedzoliman akan menyebabkan timbulnya fitnah, mereka dilarang dari upaya
tersebut dan diperintahkan untuk bersabar." (Al Istiqamah 32).

Prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan
pemerintah dan ulama' akan tetapi berlaku dalam segala urusan, sampai-sampai
dalam hubungan antara anak dan orang tuanya prinsip ini tetap berlaku dan wajib
diindahkan oleh setiap muslim. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:

وإن جاهداك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلا تطعهما وصاحبهما في الدنيا معروفا

"Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu patuhi
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15)

Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama' ahlis sunnah tentang
prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang tua, atau
atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya, yang semuanya
menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada sesama manusia
hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syari'at Allah.

0 komentar:

Posting Komentar